Senin, 11 Juli 2016



Saya anggap kita sedang bersama-sama berada di sebuah persimpangan.  Senja sudah sedari tadi menghilang, mungkin rindu tertidur di peraduan. Langit yang segera menjadi gelap membuat kita hanya saling menyapa sesaat tanpa banyak bicara. Mungkin itu secepat kabut yang datang di pucuk-pucuk gunung yang angkuh. Atau itu mungkin secepat dandelion yang menjadi gundul diterpa semilir angin. Atau mungkin memang secepat itulah pertemuan kita.

Saya anggap kamu sedang terburu-buru. Saya melihat kamu menggendong tas ransel dan beberapa barang pelengkap yang kamu sampirkan seadanya di motor. Nampaknya akan ada yang pergi jauh sekali. 

Tapi kamu lupa,

Di persimpangan sebelumnya kita pernah berbicara sangat panjang. Persimpangan yang selalu kita temui selama 8 tahun yang di hiasi dengan jarak, namun selalu ada pertemuan kecil yang terjadi yang sering tidak kita rencanakan, tetapi mengalir begitu saja. Seperti selalu ada campur tangan Tuhan dan semesta didalamnya. 

Pembicaraan yang terjadi di antara kita seringkali terjadi secara sederhana. Seperti saat duduk diatas motor kesayanganmu melalui jalan panjang ke tempat yang selalu kamu favoritkan untuk memotret bintang. Atau di restoran fast food favorit kita yang rela kamu tempuh sejauh ratusan kilometer dari rumah hanya untuk bertemu saya sambil membicarakan tentang apa saja. Bahkan di tengah kemacetan dan teriknya kota Malang saat kamu menjemput saya dari terminal. 

Lorong lorong ace hardware seringkali juga jadi saksi bisu tentang berbagai hal yang kamu bagi dengan saya, menyempatkan mampir ke mall besar hanya untuk melihat-lihat keperluan motor yang jujur saya tidak paham tapi saya senang karena bersama kamu disana. Atau kedai moci sederhana yang kita temukan dari bantuan google maps dan pesanan air putih yang menemani perbincangan kita hingga lupa waktu. 

Jadi, persimpangan itu hanya menjadi tempat dimana kita pernah menjadi dekat. Pernah. Kini kita tidak lagi dekat. Di persimpangan itu kita pernah membicarakan kemana jejak-jejak kaki akan kita buat bersisian. Atau membicarakan tentang siapa yang tidak akan pernah meninggalkan. 

Atas segala potongan mimpi yang kita susun bersama, semangat yang tidak henti kamu bagikan, rasa manis dari sebuah kedekatan, tepukan di bahu dan elusan di kepala yang menenangkan, perjuangan yang selalu ada di setiap jarak ratusan kilometer yang pernah kamu lalui, ratusan foto dan video perjalanan yang selalu kamu abadikan dan senyum yang tak pernah lekang oleh zaman, terima kasih banyak. 

Mungkin memang bukan kamu. Mungkin sebaiknya saya tidak perlu berpikir terlalu berat tentang akan menjadi apakah kita. Karena kita tetap akan menjadi saya dan kamu. Tidak lebih. Itu saja.

Sudah hampir setahun lamanya kita memutuskan untuk berhenti berhubungan via apapun. Sudah tidak ada lagi saling kabar dan obrolan sehari-hari seperti dulu. Semoga kamu sudah menemukan yang lebih dari saya. Yang tidak pernah marah ketika kamu lupa cuci tangan sebelum makan, yang tidak pernah ngambek ketika ditinggal tidur atau bahkan yang tidak akan pernah melarang kamu untuk merokok. Saya yakin kamu baik dan akan mendapatkan yang baik pula. 

Saya bukan Tuhan yang bisa membuat takdir. Bisa saja suatu saat nanti entah kapan, kita akan bertemu kembali di persimpangan. Bahkan mungkin saja bisa melanjutkan kembali obrolan tentang mimpi yang dulu pernah kita bangun. Seperti saat 4 tahun dulu saya pernah menulis seperti ini, saat kita berpisah dan akhirnya kita bertemu lagi. 

Tuhan menyimpan banyak misteri terhadap setiap takdirnya. Yang tidak berhenti saya doakan adalah semoga kamu senantiasa bersama orang yang mengerti dan memahami apa yang menjadi kesenanganmu, karena hanya dengan  bersama orang seperti itu, matamu selalu bersinar dan bersemangat menjalani hidup.

Waiting is painful
Forgetting is painful
But not knowing which to do is the worst kind of suffering

2 komentar: